POTENSI
RUSA TIMOR (Cervus timorensis) SEBAGAI
TERNAK
LOKAL BERNILAI TINGGI DI KABUPATEN MERAUKE :
Upaya Peningkatan Populasi Rusa
Timor melalui Penangkaran
Oleh
:
Heny
Vensye Saiya
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Rusa merupakan salah sumber daya
genetic yang ada di Negara Indonesia.
Terdapat empat spesies rusa endemic di Inonesia yaitu : rusa sambar
(Cervus unicolor), rusa timor (Cervus timorensis), rusa bawean (Axix kuhli) dan
muncak (Muntiacus muntjak). Pada awalnya rusa merupakan satwa liar tetapi saat
ini pemerintah telah menetapkan status rusa sebagai hewan liar yang dapat
didomestikasi melalui SK Menteri Pertanian No 362/KPTS/TN/12/V/1990 pada
tanggal 20 Mei 1990.
Rusa
timor yang ditemui di Kabupaten Merauke merupakan hewan introduksi yang
dimasukkan pada tahun 1928 oleh Pemerintah Belanda ke Merauke (Papua) kemudian
ke Manokwari (Papua Barat). Di kedua
daerah tersebut perkembangan populasi rusa sangat pesat karena tidak dijumpai
hewan predator yang membahayakan perkembangan rusa. Pada tahun 1984, Bishop (1984) memperkirakan
jumlah rusa di luar kawasan Taman Nasional Wasur yang ada di Distrik Sota
Kabupaten Merauke berjumlah 16.000 ekor dan menurut Fraser-Stewart (1989),
jumlah rusa yang ada di Taman Nasional Wasur
sendiri mencapai 76.740 ekor.
Hasil survey intensif oleh Cravenv pada tahun 1992, jumlah populasi rusa
adalah 8.100 (Data dari Dinas Peternakan Kabupaten Merauke).
Masyarakat
di kabupaten Merauke sejak dulu telah mengkonsumsi daging rusa sebagai sumber
protein hewani disamping daging sapi, ayam dan kangguru. Daging rusa selama ini juga diolah menjadi
dendeng, bakso, nugget dan sate. Selain
berkontribusi sangat besar terhadap pemenuhan protein, hasil sampingan rusa
timor banyak memberikan manfaat bagi manusia, dimana canggah/velvetnya dapat
dimanfaatkan sebagai obat, kulit rusa digunakan dalam pembuatan souvenir dan sebagai
hiasan dinding sedangkan tanduk rusa dapat digunakan sebagai obat.
Melihat
potensi rusa yang sangat baik, perlu diupayakan mengumpul informasi-informasi
yang ilmiah untuk mendukung pengembangbiakan populasi rusa di daerah kabupaten
Merauke.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penulisan ini adalah
sebagai informasi lanjut untuk menyusun program penggelolaan dan penangkaran
rusa agar dapat meningkatkan populasi dan produktivitasnya, khususnya yang
berada dalam kawasan kabupaten Merauke.
II.
Isi dan Pembahasan
2.1. Klasifikasi Rusa Timor
Rusa merupakan
satwa liar yang
diklasifikasikan menurut Schroder (1976) sebagai berikut :
Phylum :
Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Cervidae
Sub famili : Cervinae
Genus : 1. Cervus
2. Axis
Spesies :
1. Rusa timor (Cervus timorensis) (Blainville, 1822)
2. Rusa sambar (Cervus unicolor)
3. Rusa bawean (Axis kuhli)
4. Rusa totol (Axis axis).
Di
Indonesia terdapat delapan sub species rusa timor, yakni : Cervus timorensis russa di P. Jawa, Cervus timorensis florosiensis di P. Lombok, Sumbawa, Komodo, Sumba
dan P. Flores, Cervus timorensis timorensis di P. Timor, P. Rote, P. Semau, P.
Kambing, P. Alor, P. Rusa dan P. Pantar, Cervus
timorensis djonga di P. Muna dan P. Buton, Cervus timorensis molucensis
di Kep. Maluku, P. Irian / Papua, P. Halmahera, P. Buru, dan Kep.
Aru, Cervus
timorensis macassaricus di P.
Sulawesi, Pulau Banggai dan P. Selayar, Cervus
timorensis renchii di P. Bali dan Cervus timorensis laronesietes di P.
Peucang.
2.2. Status Konservasi dan Perlindungan
Rusa
(Cervus spp) merupakan hewan yang dilindungi menurut
undang-undang Ordonansi dan Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 No.
134 dan 266. Untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu suatu rumpun ternak
maka sebelumnya telah terbit UU RI Nomor 6 Tahun 1967 pada pasal 13.
Selanjutnya SK Menteri Pertanian No 362/KPTS/TN/12/V/1990 pada tanggal 20 Mei
1990, memasukkan rusa ke dalam kelompok aneka ternak yang dapat dibudidayakan
seperti ternak lainnya, termasuk di dalamnya mengatur tentang peraturan ijin
usaha. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pada tanggal 27 Januari 1999 memasukkan
semua jenis dan genus Cervus kedalam Lampiran Jenis-jenis Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi. Selain itu Rusa termasuk hewan dalam kategori terancam
punah dalam daftar Appendix I CITES, sehingga keberadaanya harus dijaga dan
tidak dibenarkan melakukan perburuan apalagi memperjual belikan dagingnya.
Dalam
kaitannya sebagai satwa liar, rusa timor keberadaanya juga diatur dalam UU RI
nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Peraturan Menteri
Pertanian nomor 35/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pedoman Pelestarian dan
Pemanfaatan Sumber Daya Genetik Ternak.
Dan yang terakhir sebagai pengganti UU RI nomor 6 Tahun 1967, adalah
dikeluarkannya UU RI nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Pada bab III, pasal 9 ayat 3 tentang Sumber daya
genetic asal satwa liar.
Ditingkat
daerah khususnya di Kabupaten Merauke, kebijakan tentang pengembangan dan
budidaya rusa timorensis secara tertulis memang belum ada, tetapi pelaksanaan
proyek kegiatan penangkaran rusa timorensis telah dilakukan oleh Dinas
Peternakan, kelompok peternak rusa bekerja sama dengan pihak swasta dari
Australia pada tahun 2007.
2.3. Habitat Rusa Timor
Cervus timorensis tersebar alami hampir di seluruh
kepulauan Indonesia kecuali di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Habitat
rusa timor berupa hutan, dataran terbuka serta padang rumput dan savanna. Rusa
timor diketemukan di dataran rendah hingga pada ketinggian 2600 m di atas
permukaan laut (Direktorat PPA, 1978). Padang rumput dan daerah-daerah terbuka
merupakan tempat mencari makan, sedangkan hutan dan semak belukar merupakan
tempat berlindung. Salah satu tempat
berlindung yang disukai oleh rusa timor (Cervus
timorensis) adalah semak-semak yang
didominasi oleh kirinyuh (Eupatorium spp.),
saliara (Lantana camara), gelagah (Saccarum spontaneum) dan alang-alang (Imperata cylindrica).
Rusa timor termasuk satwa yang mudah beradaptasi dengan
lingkungan yang kering bila dibandingkan dengan jenis rusa yang lain, karena
ketergantungan terhadap ketersediaan air relatif lebih kecil. Dengan kemampuan adaptasi yang baik ini rusa
timor mampu berkembangbiak dengan baik di daerah-daerah meskipun bukan habitat
aslinya.
2.4. Aktivitas Rusa Timor
Rusa memiliki aktivitas pergerakan dan
penjelajahan yang terpengaruh oleh 2 aspek, yaitu rutinitas harian yang
berkaitan dengan mencari makanan, air, dan tempat istirahat yang sesuai, dan
aspek musiman yang berkaitan dengan iklim setempat. Pada suatu saat rusa dapat
bergerak aktif dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh, namun pada kondisi
iklim yang buruk rusa akan bergerak sangat terbatas. Aktivitas harian rusa meliputi perjalanan dari dan ke
tempat mencari makanan dan air, makan
dan beristirahat. Sebagaimana herbivora pada umumnmya, rusa menghabiskan
waktunya berjam-jam untuk makan dan diselingi perjalanan-perjalanan pendek
untuk beristirahat maupun menuju ke tempat air. Untuk aktivitas makan rusa
timor lebih banyak menghabiskan waktunya
pada pagi dan sore hari. Sedangkan siang hari cenderung mencari perlindungan
dari teriknya sinar matahari, beristirahat sambil memamah biak. Pada malam hari
aktivitas makan juga berlangsung, tetapi tidak begitu aktif.
Jenis Cervus timorensis merupakan hewan yang dapat aktif di siang hari
(diurnal) maupun di malam hari (nokturnal), tergantung pada kondisi
lingkungannya . Dilaporkan oleh Garsetiasih et
al. (1997) bahwa aktivitas puncak Cervus timorensis di Taman Wisata Alam
Pulau Menipo Nusa Tenggara Timur adalah pada pagi hari pukul 06.00-09.00 dan
pada sore hari pukul 16.00-18.00. Aktivitas tersebut meliputi istirahat, makan,
dan bergerak.
2.5. Keadaan Morfologi Umum Rusa Timor
Rusa timor secara morfologi memiliki warna
bulu coklat abu-abu sampai coklat tua kemerahan dan yang jantan warnanya lebih gelap. Warna di
bagian perut lebih terang dari pada di bagian punggungnya.
Tinggi bahu rusa betina dewasa 100 cm, sedangkan yang jantan dapat mencapai
110 cm. Panjang badan dengan kepala kira-kira 120 – 130 cm, panjang ekor 10 –
30 cm. Sedangkan bobot badannya dapat mencapai 100 kg.
a.
b.
Gambar
1. Rusa timorensis (Cervus timorensis), (a) rusa
jantan; (b) rusa betina
Rusa jantan
dewasa memiliki ranggah atau tanduk yang bercabang tiga, dengan ujung-ujungnya
yang runcing , kasar dan beralur memanjang dari pangkal hingga ke ujung
ranggah. Panjang ranggah rata-rata 80 – 90 cm, tapi ada yang mencapai
111,5 cm.
Gambar 2.
Perbandingan struktur dan ukuran
tubuh
Gambar 3.
Perbandingan struktur dan ukuran ranggah.
A. Rusa Merah, B. Rusa chital, C. Rusa timor,
D. Rusa sambar
Pada
musim kawin, perilaku rusa banyak mengalami perubahan. Pada awal musim kawin,
rusa menjadi gelisah dan peka terhadap kedatangan mahluk asing di
lingkungannya. Rusa jantan lebih peka
terhadap kedatangan pejantan lain dan menantang pejantan lain untuk berkelahi
dalam rangka memperebutkan atau mempertahankan betina. Meskipun hidup bersama
dalam satu kelompok, setiap rusa mengikuti siklus seksualnya
masing-masing. Berdasarkan beberapa
hasil penelitian, terdapat kaitan erat antara musim birahi dengan terlepasnya
tanduk-tanduk/ranggah rusa.
Rusa betina pada musim kawin akan mondar-mandir dari
daerah teritori pejantan satu ke daerah teritori pejantan yang lain untuk
memilih pejantan, dan akhirnya menetap pada daerah teritori pejantan yang dipilihnya sampai terjadi perkawinan.
Pada umumnya kopulasi terjadi pada malam hari.
Masa
reproduksi rusa dimulai dari umur 1,5 tahun sampai 12 tahun, rusa dapat
bertahan hidup antara umur 15- 20 tahun. Anak rusa umur 4 bulan dapat mencapai
bobot badan 17,35 kg untuk jantan dan 16,15 kg betina. Pada umur satu sampai dua tahun rusa sudah
bereproduksi, dengan lama bunting antara 7,5 bulan sampai 8,3 bulan. Bila
ditangani secara intensif, satu bulan setelah melahirkan rusa sudah dapat
bunting lagi terutama bila dilakukan penyapihan dini dengan anak yang
dilahirkan, umur sapih anak rusa secara alami yaitu 4 bulan. Setiap tahun rusa
dapat menghasilkan anak, biasanya anak yang dilahirkan hanya satu ekor.
2.6.
Sifat Kualitatif Rusa Timor
Sifat kualitatif lebih banyak diatur
atau ditentukan oleh genotype individu.
Pada rusa timor sifat kualitatif yang dapat dilihat dengan jelas adalah
warna bulu, warna kulit, pola warna, bentuk kepala, bentuk badan dan bentuk
tanduk.
Warna
kulit rusa timor coklat kemerah-merahan sampai coklat gelap. Warna di
bagian perut lebih terang dari pada di bagian punggungnya.
Bila dibandingkan denga warna rusa sambar yang coklat kehitaman. Bentuk kepala lebih cekung dibandingkan
dengan rusa sambar. Bentuk badan dan
tanduk lebih kecil daripada rusa sambar.
Gambar 4. Penampang Anatomi Rusa
Berdasarkan
penelitian Thohari et al.
(1993), dari hasil analisis polimorfisme
protein darah yaitu pada lokus transferin,post albumin dan haemoglobin dapat
digunakan sebagai indicator mengidentifikasi perbedaan genetic diantara rusa
timor, rusa sambar dan rusa bawean. Lokus post albumin dianggap dapat dijadikan
sebagai gen penanda untuk mengidentifikasi karakteristik ketiga jenis rusa
tersebut.
Perkembangan ukuran tanduk dapat
digunakan untuk menduga umur rusa . Tanduk pertama kali tumbuh pada umur
kira-kira 1 tahun yang terdiri atas tanduk tunggal. Tanduk rusa timor besar,
langsing dan panjang. Velvet dan tanduk
rusa timor merupakan salah satu sifat kualitatif yang mempunyai nilai ekonomik
tinggi.
Tabel 1. Perkembangan Tanduk Rusa Jantan
Umur (bulan)
|
Keadaan
|
4 –
6
7 –
9
13
– 15
24
30
84
108
|
Mulai
nampak ada yang menonjol
Tanduk
tumbuh/muncul ke luar
Tanduk
tunggal tumbuh sempurna (20-30 cm)
Tanduk
mempunyai 2 cabang
Tanduk
mempunyai 3 cabang
Perkembangan
tanduk sempurna (panjang 80 – 90 cm)
Jarak
diantara cabang tanduk bertambah lebar
|
2.7. Sifat Kuantitatif Rusa Timor
Sifat-sifat kuantitatif yang dapat
diukur pada rusa timor antara lain panjang badan, tinggi badan, lingkar dada,
lebar dada, dalam dada, panjang kepala, panjang ekor dan lainnya. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
lingkar dada, tinggi pinggul, panjang badan dan
tinggi badan memberikan kontribusi pada ukuran tubuh rusa. Secara umum dari hasil pengukuran tubuh
terhadap rusa timor, rusa sambar dan rusa bawean menunjukkan bahwa rusa sambar
relative lebih besar dari rusa timor kemudian rusa bawean (Thohari et al., 1993). Tubuh rusa jantan lebih besar dibandingkan
dengan tubuh rusa betina.
Semakin
tinggi panjang pinggul dan panjang femur maka skor bentuk tubuh yang diperoleh
semakin tinggi. Hal yang sangat mempengaruhi keadaan sifat kuantitatif rusa
disini adalah keadaan lingkungan.
Keadaan morfologi rusa sangat dipengaruh oleh keadaan atau habitat
dimana dia tinggal.
Daging rusa (venison) mempunyai persentase karkas 58
% (sapi 41 % dan domba 43 %).
Komposis energi yang dihasilkan dari
lemak daging pada rusa 22 % (sapi 33 % dan domba 35-47 %), energi daging mencapai 628 jouls / 100
g. Kandungan protein daging 21 % (tetap
dengan bertambahnya umur) dan 40 % dari bagian karkas belakang (3/4 bagian
karkas belakang mempunyai harga tinggi).
2.8. Konservasi
Pengelolahan satwa liar merupakan
bagian dari upaya konservasi satwaliar. Untuk
menjaga kelestarian populasi rusa di kabupaten Merauke maka diperlukan
pengelolaan yang baik agar usaha-usaha pemanfaatan hasil tersebut dapat tetap
berlangsung. Untuk menghindari kepunahan dan sekaligus memanfaatkan rusa secara
optimal dan berkelanjutan dapat dilakukan melalui penangkaran (konservasi
ex-situ) dengan sistim ranch. Penangkaran rusa mempunyai prospek karena rusa
mudah beradaptasi dengan lingkungan di luar habitat alaminya, mempunyai tingkat
produksi dan reproduksi yang tinggi. Dalam pembangunan penangkaran ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan yaitu komponen habitat yang terdiri dari pakan,
air, naungan (cover), dan ruang (Garsetiasih, R dan Mariana 2007).
Diperkirakan
di distrik Okaba, Kimaam dan Naukenjerai, populasi rusa masih dalam kisaran
ribuan. Diperkirakan untuk wilayah
perbatasan seperti Muting, Elikobel dan wilayah distrik Naukenjerai, populasi
rusa berkurang karena menyeberang ke Negara tetangga Papua New Guinea.
Usaha
penangkaran dilakukan untuk menghindari kepunahan dan dalam rangka memanfaatkan
satwa liar secara optimal berazaskan kelestarian, karena dalam penangkaran
kehidupan satwa liar dikendalikan sebaik mungkin. Pada tahun 1996 Dinas
Peternakan kabupaten Merauke telah melakukan kegiatan penangkaran rusa di
Distrik Okaba sebagai salah satu kebijakan pemerintah untuk pemanfaatan hewan
local sebagai sumber pangan. Tetapi karena
terbentur dengan dana, kegiatan tersebut
tidak berlanjut. Pemerintah melalui
Dinas Peternakan kembali mencoba melakukan kegiatan penangkaran rusa timor pada
tahun 2007 bekerja sama dengan pemerintah Australia bertempat di kampong Wapeko
Distrik Kurik. Luas lahan yang digunakan adalah 2 ha dengan jumlah rusa
sebanyak 14 ekor.
2.9. Daerah
Produksi
Daerah produksi yang dianggap baik
untuk penangkaran maupun pemeliharaan rusa timor adalah distrik Kurik, distrik
okaba dan distrik Tanah Miring.
2.10. Seleksi
Tempat penangkaran telah
ditentukan, selanjutnya adalah pemilihan hewan betina dan pejantan. Dari
sejumlah pejantan dan betina yang ada di wilayah produksi, diambil rusa yang
memiliki tampilan fenotipik yang baik.
Bobot induk maupun bobot anak rata-rata yang baik merupakan indicator
yang baik dalam pemilihan.
Calon pejantan sebaiknya
dipilih dari rusa betina yang mempunyai sifat reproduksi yang baik. Calon induk betina dipilih yang memiliki
kemampuan mother ability yang baik
dan sifat reproduksi yang baik.
Dalam tahun berjalan dilihat
keturunan pertama dan kedua dari populasi rusa yang ada. Berdasarkan catatan bobot lahir, ditentukan
sekelompok induk muda yang terbaik.
Diharapkan beberapa tahun kedepan dihasilkan pejantan dan betina rusa
timorensis kelas A.
III. Kesimpulan
1. Rusa mempunyai
daya adaptasi yang tinggi dengan lingkungannya sehingga mudah untuk
ditangkarkan.
2. Rusa mempunyai
prospek ekonomi yang bagus, karena dapat menghasilkan daging, kulit dan tanduk
serta pasar bagi produk tersebut tersedia.
3. Rusa termasuk
satwa yang produktip karena dapat bereproduksi setiap tahun dan
mempunyai
tingkat produksi yang tinggi dengan persentase dan berat karkas yang
lebih
tinggi dibanding satwa lain.
4. Sifat
kualitatif rusa timor yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah velvet dan
tanduk.
5. Sifat
kuantitatif rusa timor yang berkontribusi pada ukuran tubuh rusa adalah lingkar
dada, tinggi pinggul, panjang badan dan tinggi badan.
6. Pemerintah
Kabupaten Merauke memiliki andil yang cukup besar untuk pemenuhan kebutuhan
produk daging di daerah salah satunya dengan program penangkaran rusa timor
dengan istim ranch.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Pusat Statistik Provinsi Papua, 2006.
Papua dalam Angka 2006. Jayapura
Garsetiasih R, Sutrisno
E. 1997. Hubungan karakteristik vegetasi dengan aktivitas rusa timor (Cervus
timorensis) Taman Wisata Alam Pulau Menipo Nusa Tenggara Timur. Kupang;
Ekspose Hasil Penelitian BPK Kupang
Garsetiasih,
R. 2000. Bioekologi Rusa Timor dan Peluang Pengembangan Budidayanya. Buletin
Kehutanan dan Perkebunan.
Garsetiasih,
R dan Mariana. 2007. Model penangkaran rusa. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil
Penelitian. 2007.
Direktorat PPA.
1978. Pedoman pengelolaan Satwa
Jilid I. Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam. Bogor.
Petocz,
R.G., 1987. Konservasi Alam dan Pengembangan Irian Jaya. Graffiti Press.
Jakarta
Schroder,
T.O.1976. Deer in Indonesia. Yogyakarta
: Universitas Gadjah Mada Press.
Fakultas Kedokteran Hewan
Semiadi.
G., 1998. Budidaya Rusa Tropika sebagai
Hewan Ternak. Masyarakat Zoologo
Indonesia. Bogor
Sumanto, 2006. Perencanaan
Penangkaran Rusa Timor (Cervus Timorensis
De Blainville) Dengan Sistem Farming : Studi Kasus Di Penangkaran Rusa
Kampus IPB Darmaga.
Jurnal Pascasarjana IPB Bogor
Takandjandji, M., dan R. Garsetiasih. 2006. Standardisasi Penangkaran Rusa Sebagai Sumber
Pangan. Puslitbang Hutan
dan Konservasi Alam, Bogor
Takandjandji, M., dan R.
Garsetiasih. 2002. Pengembangan penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis)
dan permasalahannya di NTT. Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan
Konservasi Ungulata. PSIH-IPB; Puslit Biologi; Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor
Thohari,M.,
B. Masyud, S.S.Manjoer dan C. Sumantri, 1993.
Analisis Perbandingan Polimorfisme Protein Darah dari Beberapa Jenis
Rusa Di Indonesia dengan Menggunakan Elektroforesis. Laporan Hasil Penelitian. Fakuktas Kehutanan. IPB Bogor.